Afr..aid

April 12, 2020

Hai. Assalamualaikum.

Bahkan saya terlalu kaku dan ga ngerti bagaimana untuk memulai menulis blog lagi :3

Namun sepertinya Marginal sudah paham ya, dan mungkin juga sudah bisa menebak perihal maksud akhirnya saya kembali lagi. Ya, saya resah. Dan seperti Marginal juga mungkin sudah mengerti, saya bukanlah orang ekstrovert yang seperti orang lain yang akan berkeluh kesah kesana kemari, atau menceritakan apa yang saya rasakan ke banyak orang. Saya sangat private dan hanya akan membukakan diri ke orang-orang tertentu, dengan sangat irit2.

Disini saya belajar bahwa sifat dasar manusia diantaranya adalah menyelamatkan dirinya sendiri, menghindari risiko yang mungkin akan merugikan diri sendiri, dan juga memiliki rasa keingintahuan yang tidak selalu disertai empati. Mungkin baru akan paham apa yang saya katakan jika berada di posisi saya saat ini.

Saat dimana saya dapat merasakan bedanya suatu otoritas yang bekerja sesuai SOP atau bekerja sesuai hati nurani. Saat dimana saya dapat membedakan antara orang-orang yang betul-betul care dan memberi dukungan moril serta doa, orang-orang yang hanya bertanya karena ‘kepo’, orang-orang yang bertanya lewat jalur belakang yang entah benar atau tidak informasi yang didapat, atau orang-orang yang memang tidak peduli sama sekali. Dan mungkin juga ada yang menganggap saya berlebihan. Tak apa, semoga mereka tidak merasa kecemasan yang saya rasakan.

Dan ya, Marginal. Saya kembali kesini untuk memohon dan mengadu kepada-Nya, disamping pada setiap doa selesai solat. Dila takut ya Allah. Namun seharusnya tidak ada yang boleh Dila takuti selain Engkau, ya? Kalau kata Imam, caranya adalah istigfar dan sabar.  Namun hamba hanya manusia lemah yang tidak punya kuasa atas suatu apapun. Jauhkanlah hamba, keluarga hamba, sahabat, dan sanak saudara dari marabahaya, ya Allah. Hamba mohon dilindungi dan diberikan kesembuhan. Laa illahailallah, Muhammadur rasulullah. Laa haulawalaa kuwwata illabillah.

Kisah Tiga Kaca-mata

Saya ingin sharing sebuah kisah, sederhana, ringan, namun bagi yang mau berpikir lebih, ini adalah tentang sebuah filosofi hidup. Tokoh utamanya adalah tiga buah kaca-mata yang saya punya saat ini, maupun saat lalu. Antara kaca dan mata saya beri tanda ‘ – ‘ dengan maksud menerjemahkannya secara harfiah. Kaca, ya yang bisa terbuat dari berbagai macam bahan tentunya –yang dalam kasus ini tidak secara harfiah terbuat dari kaca pecah belah– yang digunakan pada sepasang mata kita literally. Nah ini sebenarnya tidak penting, jadi langsung aja ke bagian cerita (yang penting) nya ya.

Kaca-mata pertama, sebut saja ‘Satu’, berusia kurang lebih 6 tahun. Satu yang saya adopsi dari tukang kacamata sekitar akhir tahun 2012 itu berbahan full plastik/mika baik lensa maupun frame-nya. Full frame berwarna ungu tua. Cukup netral untuk dipakai sehari-hari dengan outfit apapun. Kalau menurut beberapa teman, saya terlihat pas dan cocok memakai kaca-mata dengan model seperti itu. Kesannya lebih fresh karena berbeda dengan kacamata saya sebelumnya yang half-frame.

Satu merupakan kelahiran tangan lokal pribumi asli di Jogja. Ketika dirinya sudah matang dan siap mengabdi, Satu diletakkan di sebuah toko optik sederhana ala mahasiswa di kawasan jalan Kaliurang. Dengan info dari teman yang promosi unpaid secara tidak langsung, yang katanya optik tersebut menawarkan kacamata-kacamata berkualitas lumayan oke dengan harga miring, saya jadi tertarik mencoba. Sebelumnya saya sebenarnya sudah mengetahui adanya optik tersebut namun tidak pernah sekalipun terbersit ingin beli kaca-mata disana atau optik ala mahasiswa lainnya yang bertebaran di Jogja.

Saya cukup konservatif dalam hal ini karena sejak awal saya menjadi pengguna kacamata (kira-kira dari SMA) saya punya sebuah optik langganan di Jakarta. Bukan optik ternama yang umum di khalayak, namun walaupun tidak besar, para optician (bukan ophthalmologist)  disana sangat berpengalaman dan memiliki latar belakang ilmu pendidikan yang sesuai di bidangnya. Jadi kalau ada apa-apa dengan kaca-mata saya, baik rusak atau ganti baru atau perbaikan atau mau periksa visus, saya selalu ke optik tersebut. Apalagi karena pernah trauma mencoba di optik lain yang tidak sesuai harapan, saya jadi hati-hati kalau mau beli kaca-mata.

Nah entah bagaimana akhirnya pikiran saya berbelok ingin mencoba beli kaca-mata di optik ala mahasiswa tersebut, dan kemudian bertemu Satu. Sekali coba saya langsung merasa cocok. Namun karena namanya banyak model lain yang dipajang disana tetap saja saya coba sana coba sini. Ditambah lagi dengan tipe self-service saya bebas mencoba kaca-mata mana saja yang saya mau sesuka hati. Ambil-coba-lalu letakkan kembali sendiri. Etalase  free tidak dikunci, membuat saya lamaaaa untuk menentukan pilihan. Hingga akhirnya pilihan akhir kembali lagi ke pilihan awal, si Satu.

Dengan modal 100k IDR saya sudah bisa membawa pulang Satu, sudah termasuk lensa dan frame!! Tidak seperti kacamata-kacamata saya sebelumnya yang sudahlah jauh lebih pricey, harus pesan dan menunggu beberapa hari. Di optik tersebut saya bisa membawa pulang Satu hanya dengan menunggu beberapa jam. Hasilnya pun cukup memuaskan. Memang saya tidak meng-set ekspektasi apapun sih, dengan Satu yang tanpa merek atau nama besar keluarga, tapi toh justru lebih hepii jadinya hhe..

Kaca-mata yang kedua, sebut saja ‘Dua’, lahir beberap bulan setelah saya memiliki Satu (lupa tepatnya). Dua merupakan keturunan cukup bangsawan, bisa dibilang begitu. Kisah Dua akan berlanjut dipostingan berikutnya.. hehe, nantikan ya.

*semoga ada kesempatan buat nerusin..ditengah2 case yang ga selesai2🙃

Hello!

26112017

Hello! It’s been ages since the last time I posted something here. Many things have been happened, both shits and blessings (much more the second one tho :)). Even so, I don’t know what to write now, actually. I’m just trying to start with some words and sentences. It’s because on these last few months, my to-do list item of ‘mulai nulis blog’ has never been checked. Oh, anyway, now I’m sitting on a chair inside Sapphire Ballroom, Sheraton Hotel, being a ‘customized’ participant of the 3rd ISMI HOTTI seminar. Being customized means that we are obligated to attend this seminar but free. In fact, there are 24++ other customized participants at least, apart from me, and I think It’s even up to three-quarter of all audience are. So there won’t be that much of empty seats, they hoped.

By the way, sayangnya, sepertinya tulisan ini akan tertunda dulu (lagi) karena pikiran gue masih mandek mau nulis apa yang lebih berfaedah, dan juga disaat yang bersamaan di telegram ada invitation untuk join werewolf game. So.. see ya later, will be right back (anywhen).

 

Bersatu atau Bercerai

Ridiculously worrying. 

Sebagai seorang yang warga negara UK bukan, warga negara EU juga bukan, investor atau pebisnis juga bukan, berniat jadi imigran tetap juga ngga, apalagi pemimpin negera deh, apa cuma saya yang frowning dan disappointed dengan outcome dari UK-EU referendum dengan Brexit nya?

Tanya kenapa? Hmmm *angkat bahu *rolling eyes

Bisa jadi karena saya berasal dari Indonesia dan dulu ketika masih di bangku sekolah dasar diajarkan semboyan dan peribahasa Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh (really? :p). Sok-sok an paham jadi anak bangsa yang diversity nya besar tapi tetap memilih bersatu. Bagaimanapun, prinsip dasar itu agaknya lumayan sukses tertanam dan merasuk di pikiran. Sampai saat ini pun saya tetap merasa hal tersebut idealnya adalah yang lebih baik.

Anyway, before going further, I’ve warned you to do not expect me to review and analyse this big issue like those are on BBC, CNN, The Times, Republika, France 24, DW-TV, SkyNews,  The Jakarta Post,  from point of view that you commonly expect to. Because you may think I am far from hit not could be convinced by what I said.

We build too many walls and not enough bridges. -Isaac newton

Let’s build bridges not walls. -Martin Luther King

Build bridges not walls. -Elton John in #remaincampaign

Jangan bilang kan bisa bersatu kita teguh, bercerai kawin lagi, atau jangan tanya gimana kalau KDRT atau perbedaan prinsip atau visi misi yang sudah ga bisa disatukan atau dicari jalan tengah selain bercerai?, atau yang paling parah jangan bilang malah mikir bersatu kita runtuh, bercerai kita teguh :/. Pertama, bersatu kita teguh bercerai kita kawin lagi itu terkesan menyepelekan dan menggampangkan sesuatu. Emang dikira bercerai terus kawin lagi itu segampang ibu-ibu yang belanja di pasar tradisional yang nawarnya kelewatan terus pas si penjual ga ngasih ibu-ibunya bilang ‘yaudah ngga deh kemahalan di tempat lain dapet kok segitu’ (padahal ga ada yang jual segitu). Atau dikira nyari suami/istri itu gampang apa. Satu aja susah apalagi mau kawin-cerai (apa deh).

Kedua, kalau terjadi KDRT a.k.a Kekerasan Dalam Republik (atau negara) Tercinta, yang dicari dan diatasi adalah sebab masalah sehingga menimbulkan kekerasannya, bukan ngambil kesimpulan singkat dengan pisah. Mungkin itu hanya karena oknum-oknum tertentu yang disinyalir menjadi provokator sehingga memetik kekerasan (??). Kemudian, kalau terjadi prinsip dasar yang ga bisa disatukan? Hal ini justru dipertanyakan ya, mengingat kenapa kalau memang sudah tau begitu diawal masih memutuskan untuk bersama dan nyatanya bisa menjalani kebersamaan yang sudah berjalan bertahun-tahun hanya untuk mempermasalahkan hal-hal yang justru memecah kebersamaan yang sudah susah payah dibangun.

Nah, untuk kemungkinan pemikiran yang terakhir, bersatu kita runtuh bercerai kita teguh.. Mungkin kalau dipikir-pikir sangat kurang bijak sekali pemikiran seperti itu. Tapii melihat kondisi sekarang rasanya di dunia ini ngga ada yang ngga mungkin. Haha kalimat macam yang sering digunakan sebagai motivational positif itu sebenarnya ironi. Ya, ngga ada yang ngga mungkin baik dalam hal positif dan juga negatif! Sehingga Bersatu Kita Runtuh Bercerai Kita Teguh itu bukan agaknya lagi, tapi memang sudah didengungkan dan coba “dilaksanakan” oleh presiden terpilih Amerika Serikat yang baru, bukan?

Pada intinya, ini adalah tulisan kegelisahan semata pada beberapa bulan yang lalu saat masih bolak-balik melintasi Kensington Garden. Hanya saja memang akhirnya tulisan sampah pikiran semata ini baru rampung pada saat Jakarta baru saja 11 hari yang lalu melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) putaran pertama dan tak ada lagi park atau garden yang dilintasi beberapa bulan terakhir ini.

Pertanyaan selanjutnya, kalau begitu apakah sekarang masih gelisah? I dunno, there are so many things happen todays that consciously or not need to be concerned tho.

Who will win?

Sudah lama dia tidak berdiam untuk berpikir. Meresapi semua esensi hidup dan sekitar. Saat ini, setelah 6 bulan dia tidak merasakan ambiance itu, rasa itu kembali melingkupi.

Ruang tunggu suatu rumah sakit besar di kotanya. Bahkan loket pendaftaran pun belum berpenghuni dan terkunci. Namun tengoklah ke lorong-lorong rumah sakit. Ingin melangkah pun sulit karena banyak map, kertas, tas, orang-orang yang duduk, dan lain sebagainya terserak memanjang yang memakan lebih dari 2/3 jalan lorong itu sendiri. Continue reading “Who will win?”

Tuhan itu (tidak) adil.

Pada hari itu semua makhluk, tidak terkecuali seekor semut, dikumpulkan oleh Tuhan pada suatu padang yang saangaat luas untuk dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah masing-masing lakukan selama hidup dan diputuskan perkara atasnya sekalian. Makhluk yang taat dan menjalankan perintah Tuhan mendapat hadiah surga dan kekal abadi di dalamnya, dan sebaliknya, makhluk yang tidak taat mendapat ganjaran neraka. Mereka kemudian berjalan menuju nasibnya masing-masing sesuai dengan keputusan Tuhan, terkecuali tiga golongan : si buta, si gila, dan si lepra, yang merasa Tuhan tidak adil.
Continue reading “Tuhan itu (tidak) adil.”

Sang Marginal

Hey kamu, apa kabar? 🙂

Mohon maaf telah mengabaikan mu dalam waktu yang cukup tidak sebentar. Masih seperti yang dulu ka(h)n? Kamu yang selalu disitu, tidak peduli bagaimanapun perlakuan yang kamu dapat. Kamu yang tidak pernah mengeluh meskipun jangankan disentuh, disapa pun tidak. Kamu yang tidak pernah protes ketika tidak dianggap dan diabaikan begitu saja. Kamu yang selalu menyambutku dengan senyum dan peluk erat ketika aku pulang sesukanya atau setelah sekian lama. Kamu yang tetap menerimaku apa adanya.

Sesungguhnya dari mu-lah aku belajar mencintai Dia. Continue reading “Sang Marginal”

Tigger, si harimau kecil

Batu keras kayak batu kalau lama-lama ditetesin air juga akan lunak terus pecah.

wpid-fb_img_14468599525881.jpg

Ga pernah kebayang saya bisa sampai segitunya, sebegitunya-banget, saat kehilangan kucing. Kucing??? Iya! Sejenis kucing, makhluk yang sebelumnya amat sangat ga dipedulikan, disebelin, diomelin, diusir-usir. Apalagi saya pernah menuliskan bahwa saya termasuk dog-type person dengan membanding-bandingkan keduanya. Tapi dia bukan hanya kucing, dia Tigger.

Apalah daya, Tigger hadir dan mengubah segalanya….menjadi lebih indah…(halah, malah jadi lirik lagu xp).
Continue reading “Tigger, si harimau kecil”